home

Selasa, 27 November 2012

Ragam musik Sumatera Selatan “Kuno, Kesultanan, dan Kini” (geo musik)


Musik, sebagai salah satu bidang seni, merupakan suatu kebutuhan masyarakat baik masa kini maupun masa lampau. Tidak ada suatu kebudayaan di dunia yang tidak mengenal musik[1]. Musik adalah suatu yang abstrak yang berhubungan dengan bunyi, tetapi alat musik merupakan benda-benda yang berwujud dan dapat kita amati, akan tetapi dibalik itu semua akan di ketahui bahwa sesungguhnya alat-alat musik dan musik itu sendiri sangat erat berkaitan, bahkan dalam kenyataan yang tak terpisahkan antara satu dengan yang lain.
          Mary Palmer mengingatkan bahwa hidup manusia di kelilingi oleh bunyi, atau sekeliling manusia bisa menjadi dasar inspirasi dalam perkembangan alat musik.[2]. Semua bagian kehidupan yang ada pada suatu sistem akan berinteraksi satu sama lain, baik dengan sesama maupun antara mahluk hidup dan benda mati. Manusia, sejak lahir memiliki akal yang dapat digunakan untuk menciptakan alat-alat musik. Oleh karena itu, dalam usaha menjajagi ragam bunyi-bunyian (musik) dan alat musik dari zaman ke zaman, perlu diperhatikan perkembangan sejarah secara umum, khususnya perkembangan sejarah dari bangsa-bangsa yang masih berkultur rendah sampai bangsa-bangsa yang berkultur tinggi.
          Pada awalnya, perkembangan musik (bunyi-bunyian) dan alat musik berasal dari manusia itu sendiri, seperti berteriak, bercakap, bertepuk tangan dan menghentakan kaki ke tanah. Alat-alat bunyi-bunyian tersebut pada awalnya digunakan sebagai ekspresi jiwa, kemudian berkembang untuk keperluan komunikasi yaitu hubungan sosial antar manusia yang berkaitan untuk ritus-ritus kepercayaan. Dengan demikian, lewat pemilihan ungkapan musik, manusia telah memulai melengkapi sarana hidupnya sejak masa prasejarah[3].
          Pada tahap kedua, manusia mempergunakan lingkungan alam dengan cara mempergunakan benda-benda alam dan alat-alat keperluan sehari-hari untuk menghasilkan bunyi, oleh sebab itu setiap bangsa memiliki alat-alat musik dan musik (bunyi-bunyian) yang berbeda-beda.
          Perkembangan seni bunyi (musik) bukan saja disebabkan oleh kemajuan teknologi, tetapi juga didukung oleh filsafat hidup masyarakat yang berkaitan dengan kepercayaan akan kekuatan alam. Dalam sejarah musik, dikatakan bahwa alat musik telah ada sejak masa prasejarah. Penelitian arkeologi di Polandia dan Rusia, pada tahun 1940, telah menemukan alat bunyi-bunyian dari bahan tulang, gerabah, dan perunggu dari masa prasejarah, (T. Malinowski, 1981: 266-271; W. Kimmininski, 1963).[4]. Penelitian Casya Lund (1981: 246-265) di skandinavia dan Malinowski (1981: 266-271) di Polandia, telah ditemukan alat-alat bunyi-bunyian dibuat dari bahan tulang, batu, gerabah, dan perunggu.
          Perkembangan alat-alat bunyi di dunia ternyata tidak sama disebabkan perhatian suatu bangsa terhadap bunyi sekelilingnya tidak sama. Hal ini tampak sekali pada bangsa-bangsa yang telah mengenal tulisan seperti Mesir, Sumeria, bangsa-bangsa di Mesopotamia, Israel, Cina, Yunani dan India sebelum tarik Masehi. Oleh kemajuan teknologi alat bunyi-bunyian yang sederhana diubah menjadi bentuk-bentuk alat musik seperti yang sekarang kita kenal.
Sejak masa prasejarah, di Indonesia telah dikenal alat musik nekara dari bahan perunggu. Adapun kebudayaan perunggu di Indonesia itu datangnya dari Tiongkok Selatan, Propinsi Yunan, melalui Tonkin, yang kemudian masuk ke Melayu dan baru sampai ke Indonesia. Daerah-daerah yang dulunya mempunyai peninggalan-peninggalan zaman perunggu antara lain;[5]

1.   Sumatera Selatan
2.   Jawa
3.   Bali
4.   Beberapa kepulauan Nusa Tenggara
5.   Irian dengan Danau Santani

Kebudayaan Perunggu ini sering juga disebut kebudayaan ‘Dongson’, yaitu nama desa di Tonkin, dimana para ilmuwan mengadakan penyelidikan yang menghasilkan pembuktian bahwa kebudayaan di Indonesia itu datangnya langsung dari daerah tersebut, penyelidikan ini dilakukan oleh Payot. Kebudayaan perunggu ini bahannya sangat erat dengan gamelan, ada hal-hal lain yang sedikit banyak memberikan gambaran pertumbuhan dari salah satu instrumen karawitan yang tumbuh pada zaman ini, yaitu genderang perunggu atau tepatnya Nekara. Nekara adalah genderang perunggu yang di perkirakan digunakan sebagai :
·         Genderang Perang
·         Genderang Upacara (Pemakaman)
·         Genderang Iringan Tari.
Bukti kuat lagi yang dapat dilihat pada nekarabulan pejeng” di Bali, yang ditemukan disebuah kuil di Pejeng, dan juga nekara yang terdapat di daerah Kedu. Perlu diketahui bahwa nekara pejeng ini jelas buatan Indonesia, karena terbukti adanya ‘Batu Tuangan’ untuk nekara semacam itu.
Bukti lain yang menyatakan bahwa gamelan sudah ada di zaman perunggu yaitu adanya Kenong Batu, yang diperkirakan sebagai motif untuk membuat Kenong yang terdapat di Jawa Tengah. Hal-hal di atas merupakan bukti-bukti yang akan menuntun kebudayaan Indonesia untuk mengenal atau menciptakan musik yang kita sebut sekarang ‘karawitan’
Di abad ke-VIII dijumpai sejarah karawitan hanya dari relief candi saja. Dari sumber tersebut kita mengenal empat macam alat karawitan sebagai berikut :
  1. Genta / kulintang
  2. siter berbatang panjang
  3. kecapi berkawat tiga
  4. semacam kecer, yang dikenal dengan istilah asing cymbale.
Jelas pada abad ini kita hanya dapat melihat sumber sejarah karawitan dari bangunan kuno yang berupa candi yang ada reliefnya, candi itu ialah Candi Borobudur, Candi Dieng, Candi Prambanan, dan Candi Sari. Begitupun di abad ke- IX kita jumpai sumber karawitan dari piagam-piagam, relief candi dan beberapa arca lepas, arca yang di maksud yaitu arca perunggu dari Tegal, pinggir sungai Pagerayu, Desa Jatimerta kecamatan Balapulang, berupa arca Kinara membawa siter berbatang panjang, arca perunggu berupa Dewi Saraswati membawa kecapi dengan tiga kawat. Dari relief candi kita jumpai alat-alat karawitan yaitu;
kendang bermacam bentuk, ukuran, bahan dan cara-cara memainkan, genta dari berbagai bentuk dan ukuran, kecer dari berbagai bentuk dan ukuran seruling (bangshi), kecapi dengan 2,3,dan 4 kawat, harpa lengkung, pot suara, terompet kerang, campuran gambang dan calung. Sedangkan dari arca lepas alat yang kita jumpai yaitu; siter berbatang panjang, kecapi berkawat 3 dan genta lembu.
Hingga sampai abad ke-XX banyak sekali sumber sejarah perkembangan karawitan di Indonesia yang dapat kita lihat. Sama halnya musik daerah/etnis di Sumatera Selatan yang tidak jauh berbeda dengan musik daerah-daerah lain di Indonesia (yang menggunakan tangga nada Pentatonis), tetapi setelah masuknya pengaruh islam dan barat musik-musik zaman prasejarah mulai di tinggalkan dan timbulah bentuk baru yang mempergunakan tangga nada diatonis. Musik dan instrumen tradisi yang mempunyai arti yang dalam, sekarang sudah makin tidak berfungsi terdesak oleh makin populernya musik barat. Instrumen tradisi di Sumatera Selatan mempunyai bentuk dan bahan yang sama dengan instrumen di Minangkabau, Jawa serta Bali.
I.  Bahan yang digunakan
Bahan yang digunakan untuk membuat musik tradisi ini adalah besi atau logam campuran yang sering disebut gangsa (sama seperti di Jawa Tengah) di samping itu juga yang terbuat dari kayu dengan mempergunakan membran kulit (gendang dan terbangan)


II. Nama Instrumen
          Perangkat instumen ini disebut dengan nama gamelan sama seperti juga di tempat lain, adapun gamelan ini terdiri dari;
a)    Kulintang perunggu dan kayu
b)   Tawa’-tawa’ atau kanong-kanong
c)    Kempul dan gong
d)   Gendang
III. Tempat
          Boleh dikatakan di tiap-tiap kabupaten dan kota di Sum-Sel ada gamelan dan kalaupun ada perbedaan hanya namanya yang disesuaikan dengan logat kedaerahan dan suku masing-masing
IV. Pemain
          Pemain biasanya terdiri dari 9 ataupun 10 orang, sayangnya pemuda-pemuda sekarang hampir tak ada yang bisa memainkannya lagi, berbeda dengan di Jawa, maupun Bali dimana karawitan ini masih berkembang dengan baik.

Zaman Kesultanan dan Kolonial
Musik sebagai cabang kesenian yang tidak akan lepas dari segi-segi kehidupan  manusia dan masyarakat, oleh sebab itu musik Sumatera Selatan pada masa Kesultan banyak sekali dipengaruhi oleh kegiatan keagaman yang bertujuan untuk ritual puji-pujian terhadap Tuhan YME,
Pada Masa Kesultanan musik di Sumatera Selatan banyak sekali mendapat pengaruh Timur Tengah (Islam) seperti musik melayu, hadro dengan syair diambil dari serat berjanji, serta yang sampai saat ini eksistensinya tetap memiliki masyarakat pendukung, sebut saja salah satunya musik rakyat Irama Batang Hari Sembilan.
Musik rakyat Irama Batang Hari Sembilan ini merupakan hasil kreativitas masyarakat Sumatera Selatan, dalam hal ini salah satu contoh daerah masyarakat Batu Urip, yang mengandung perasaan individu dan pendukung pola masyarakat yang dituangkan melalui seni tradisi berupa sastra klasik melayu kuno berupa pantun yang dikomposisikan dengan alat musik gitar (pengaruh kolonial)
Batu Urip merupakan sebuah desa di Kabupaten Musi Rawas. Di desa ini memiliki suatu bentuk kesenian musik rakyat “batang hari sembilan” yang sangat erat hubungannya dengan upacara adat pernikahan dan sosial masyarakat pendukungnya. Kesenian musik batang hari sembilan ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Batu Urip, karena kesenian ini selalu dipakai dalam upacara pernikahan, selain itu juga selalu ditampilkan sebagai bentuk seni pertunjukan yang difungsikan oleh masyarakat pendukungnya sebagai aset dan wawasan bagi generasi muda karena banyak mengandung nasehat dan petuah-petuah serta sebagai pewaris tradisi kesenian rakyat.
Proses pertumbuhan musik rakyat irama batang hari sembilan diawali di sekitar perbatasan antara Jambi dan Sumatera Selatan hingga ke daerah-daerah pedalaman. Penyebaran itu banyak dilakukan melalui transportasi sungai karena di Sumatera Selatan banyak memiliki sungai yang besar-besar yang berjumlah sembilan. Sungai tersebut adalah Sungai Musi, sungai Komering, sungai Ogan, sungai Rupit, sungai Lakitan, sungai Batang Hari, sungai Rambang, dan sungai Lematang, sungai Musi Rawas. Sungai-sungai ini merupakan fasilitas perhubungan yang sangat penting di daerah Sumatera Selatan, selain itu juga sungai ini dimanfaatkan untuk mata pencarian masyarakat yaitu menangkap ikan, serta digunakan juga sebagai jalur utama untuk menghubungkan ke tiap-tiap daerah pedalaman yang berfungsi sebagai penyebaran agama dan tidak menutup kemungkinan untuk sarana komunikasi budaya. Satu tempat yang dipilih berdasarkan pertimbangan, dimana lalu lintas sungai Batang Hari Sembilan sangat penting karena sebagai jalur komunikasi dalam penyebaran agama islam ke daerah uluan atau pedalaman.
Menurut masyarakat Batu Urip Kabupaten Musi Rawas, proses penyebaran musik rakyat irama batang hari sembilan melalui jalur sungai yaitu sungai kelingi, dapat mencapai daerah pedalaman Sumatera Selatan hingga akhirnya sampai ke daerah Batu Urip. Musik tersebut masuk dan diterima oleh masyarakat setempat ketika mereka masih bertempat tinggal di hilir sungai. Dapat dikatakan bahwa musik rakyat irama batang hari sembilan yang terdapat di desa Batu Urip merupakan hasil dari proses difusi kebudayaan. difusi merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu satu ke individu lain, dari masyarakat satu ke masyarakat yang lain. Dengan proses tersebut manusia mampu untuk menghimpun penemuan-penemuan baru, sehingga dapat dikatakan proses difusi tersebut, merupakan pendorong pertumbuhan satu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan manusia.
Masuknya musik rakyat irama batang hari sembilan memberikan perubahan yang membawa ke arah perkembangan pada kesenian masyarakat Batu urip. Perubahan bentuk kesenian tradis terjadi karena masyarakat setempat ingin mengembangkan identitas daerahnya. Sebelum masuknya musik rakyat irama batang hari sembilan ke desa Batu Urip, di sana terdapat kesenian pantun bersaut (rejung).

Pada awalnya kesenian rejung ini merupakan bagian dari acara ceremonial yang biasanya dimainkan oleh pemuda dan pemudi dalam acara pernikahan, yang waktunya dimainkan pada malam hari, yang fungsinya untuk saling mengenal antara satu dengan lainnya. Tempat duduk para bujang dan gadis dipisahkan oleh tabir sehingga tidak dapat dilihat, pengenalannya hanya pada suara yang didengar seperti biasanya pantun bersaut.[6]. fungsi semula yang hanya menjadi bagian dari peristiwa adat, namun kini mengalami pergeseran fungsi yaitu sebagai seni pertunjukan, pergeseran itu tampat pada, tidak terlibatnya satu komunitas undangan muda-mudi untuk berejung, tetapimereka cukup menonton dua orang antara pria dan wanita dalam menyajikan musik tersebut.
Musik rakyat irama batang hari sembilan dalam penyajiannya secara tidak langsung difungsikan oleh masyarakat pendukungnya sebagai wawasan untuk generasi muda karena banyak mengandung nasehat-nasehat dan petuah-petuah. Ternyata karya seni dapat difungsikan sebagai tonggak sejarah yang mengabadikan pandangan hidup baru dan menandai kehadiran tertentu yang penting artinya bagi generasi bangsa[7]. Hingga sampai sekarang musik rakyat irama batang hari sembilan tetap dikenal karena kemampuannya dalam memfungsikan diri sebagai pewaris tradisi rakyat yang mana syair lagunya hingga saat ini mampu meluruskan etika-etika bagi pendengarnya.



Masa Kini
          Seiring perkembangan zaman dan pesatnya kemajuan teknologi seta banyaknya terdapat bermacam suku bangsa di Sumatera Selatan, berimbas pada kesenian musik yang terdapat di Sumatera Selatan sendiri, banyaknya kesenian-kesenian tradisi mulai ditinggalkan yang akhirnya menyebabkan kepunahan karena saat sekarang ini masyarakat (generasi muda) menganggap musik tradisi itu sudah ketinggalan jaman atau kampungan. Padahal generasi muda adalah sebagai tongkat penerus kebudayaan bangsa. Selain itu juga hampir seluruh kesenian yang terdapat di Indonesia menggunakan atau kentalnya menggunakan tradisi lisan atau tutur, ini juga salah satu penyebab kepunahan kesenian tradisi masa lampau.
          Pada masa sekarang ini masyarakat di Sumatera Selatan hampir tidak mengenal dengan kesenian tradisinya sendiri, karena kurangnya minat serta para ahli-ahli di bidang kesenian tradisi sudah banyak yang meninggal, di samping itu juga pesatnya pengaruh barat yang tanpa filter lagi di terima masyarakat Sumatera Selatan sehingga banyak yang meninggalkan kesenian tradisi tersebut dan beralih ke kesenian modern salah satu contoh kesenian yang marak berkembang di Sumatera Selatan adalah electon (orgen tunggal) hampir dalam setiap acara kesenian alat musik ini di gunakan sebagai pengganti dari alat musik tradisi yang ada di Sumatera Selatan, yang akhirnya menyingkirkan kesenian musik tradisi yang masih bertahan. Oleh karena itu untuk masa sekarang ini perlu kita bangun kerja sama yang baik antara dewan kesenian, dinas pendidikan nasional dan dinas pariwisata serta para pelaku seni untuk melakukan riset yang gunanya sebagai pendokumentasian baik berbentuk tulisan maupun audio visual, yang gunanya sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah sebagai salah satu penumbuhan kecintaan terhadap kesenian tradisi (musik) serta sebagai bentuk pelestarian budaya yang masih ada di Sumatera Selatan.


Salam Budaya





[1] Zanten , W. van. 1989. Sundanese Music in The Cianjuran Style. Foris Publication, Dordrecht – Holland. p. 3
[2] Palmer, Mary.1977.Music appreciation – for babies. American Babies:22, New York.p.43  
[3] Sachs, Curt. 1940. The History of Musical Instrument. W.W. Norton & Commpany. IncNew York.
[4] Malinowski, T. 1981. Archaeology and musical instruments in Poland. Dalam Alat Musik Jawa Kuno. Mahardika, Yogyakarta.p.3.
[5] Haryanto, Timbul. 1994.  Aspek Teknis dan Simbol Artefak Perunggu Jawa Kuno Abad VIII-X. Disertasi. Univ Gadjah Mada, Yogyakarta
[6] Suwondo, Bambang. 1984. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Selatan. Depdikbud. Jakarta.p.10.
[7] Setjoatmojo, Pranjoto. 1982. Seni Sebagai Media Komunikasi Budaya. Depdikbud. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini